NdCharo, Buku & Artikel

"Aku ingin menjadi seorang yang menulis karena berkembang, dan berkembang karena menulis" kutipan dari Santo Agustinus

Tuesday, February 02, 2010

GEREJA YANG BERTUMBUH
(NOMI BR SINULINGGA)
Pendahuluan
Perjalanan tahun 2009 sudah lebih setengah dilalui. Hari-hari melaju dengan cepat dan tahun 2010 juga segera akan tampil dengan semua warnanya. Mau tidak mau, siap tidak siap tahun 2010 akan hadir dan bulan April tahun depan GBKP akan bersidang sesinode. Bagaimana GBKP mempersiapkan diri untuk tahun-tahun mendatang menjadi perenungan yang serius. Dunia sudah berubah. Kantor pusat GBKP ada di Kabanjahe tapi GBKP juga adalah bagian dari masyarakat global. Era informasi ini membuat dunia tanpa batas dan kehidupan jemaat di desa-desa Tanah Karo ini dipengaruhi oleh perubahan di belahan dunia yang lain. GBKP sebagai rekan sekerja Allah di tengah-tengah masyarakat Karo seharusnya berubah menyesuaikan diri untuk bisa menjawab tantangan perubahan yang terjadi.
Gereja sebagai organisme akan tetap berjuang untuk hidup. Yang menjadi persoalan adalah kalau kita mengabaikannya maka ia akan tumbuh kerdil, tapi kalau kita bergandengan tangan bekerja untuk pertumbuhannya maka ia akan tumbuh subur dan berbuah. Allah sangat mengasihi GBKP dan Dia rindu gereja berbuat untuk menyatakan kasihNya pada dunia ini. Kedepan, sudah tidak bisa ditolerir lagi GBKP harus semakin fokus untuk meningkatkan kualitas SDM gereja baik para pelayan dan juga jemaat. Secara menyeluruh kita semua harus bangkit mulai dari kehidupan spiritual dan juga mental dan jasmani.
Sebagai orang percaya yang bersekutu di dalam Tuhan, kita seharusnya semakin militan hidup sebagai anak Tuhan. Melihat bahwa kehidupan rutinitas kita adalah hidup di dalam Tuhan dan kesempatan menunjukkan ada Allah dalam kehidupan kita. Meningkatkan kualitas hidup dalam memenuhi kebutuhan hidup secara jasmani, juga meningkatkan kemampuan melayani sesuai dengan karunia yang dimiliki. Pelayanan Gereja yang dilaksanakan sesuai dengan Alkitab dan konteks dimana dia hadir akan menjadikan gereja bertumbuh dalam hal kualitas maupun kuantitas orang percaya.

MENINGKATKAN DAN MENGAKTUALKAN POTENSI SDM
Banyak sekali perencanaan program yang bagus akhirnya berakhir dengan kegagalan hanya dikarenakan SDM yang tidak pas. Secara sumber daya manusia, Gereja GBKP memiliki orang-orang yang cukup berpotensi untuk melakukan pelayanan di gereja, mulai dari koseptor maupun eksekutor. Namun yang menjadi masalah kadang adalah pemikir dan pekerja ini tidak nyambung (tidak link and match). GBKP perlu memetakan untuk tahun 2020 misalnya, berapa orang Pendeta yang sudah berpendidikan S3 (DTh), berapa orang pendeta yang berpendidikan S2 (MTh) dan juga yang S1. GBKP membutuhkan pemikir-pemikir untuk membuat konsep yang mesti dilakukan jangka panjang, jangka menengah dan jangka pendek supaya apa yang dikerjakan pelayanan tidak berhenti ditataran prakmatis.
Bukan berarti pendeta yang berpendidikan S3 lebih baik daripada pendeta yang S1. Namun sesuai untuk kebutuhan pelayanan masa yang akan datang, semua lini perlu dipersiapkan. Pendeta yang sesuai disekolahkan kejenjang S2 dan S3. Pendeta yang ada di jemaat dan tidak lanjut S2 atau S3 secara formal juga perlu terus didorong meningkatkan diri karena kehidupan jemaat yang dilayani semakin kompleks.
Selain Pendeta, jemaat awam GBKP juga banyak yang kompeten dan berkualitas melayani pekerjaan-pekerjaan gerejawi. Pertua dan Diaken mengambil peranan pelayanan penting didalam kehidupan gereja sehingga juga perlu semakin ditingkatkan kualitasnya. Melalui jabatan khusus yang dipercayakan kepada pendeta, diaken dan pertua di dalam Gereja, mereka adalah suatu kesatuan pelayanan yang bertanggung jawab melakukan pembinaan untuk memberdayakan jemaat. Sehingga mereka sangat perlu diperhatikan dalam peningkatan kualitasnya. Namun orang percaya dalam gereja, baik yang mendapat jabatan khusus maupun tidak harus bersama-sama melaksanakan panggilannya sebagai anggota tubuh Kristus.

Pemberdayaan Jemaat sesuai dengan Karunianya
Gereja lokal dalam persekutuan-persekutuan jemaat harus tidak bosan-bosannya mengingatkan bahwa panggilan tri tugas gereja juga menjadi panggilan masing-masing orang percaya. Allah merindukan kita semakin bertumbuh dalam hal spiritualitas, dan hal ini akan tercapai dengan baik kalau masing-masing individu mau melakukan panggilannya dengan benar. Banyak orang Kristen yang memiliki hati untuk orang yang tersesat dan juga menolong yang lemah, namun gereja kurang menolong mereka untuk mewujudkan kerinduannya. Jemaat GBKP yang terdiri dari beragam latar belakang pendidikan, pekerjaan dan karunia rohani juga memiliki kerinduan melayani dengan karunianya, namun sering sekali mereka tidak tahu bagaimana caranya.
Pemberdayaan menjadi sesuatu yang penting di dalam gereja. Para pemimpin gereja harus konsentrasi pada pemberdayaan semua anggota jemaat untuk memenuhi panggilannya masing-masing. Tentu hal ini tidak mudah, karena dalam gereja GBKP lokal hanya terdapat seorang pendeta, dan para pertua dan diaken. Para pertua dan diaken yang telah dipilih oleh Tuhan melalui jemaat, juga harus bekerja keras dan mempersiapkan diri untuk memenuhi tugasnya dan ikut serta melakukan pembinaan untuk memberdayakan jemaat. Sehingga melalui pemberdayaan yang baik Gereja membantu orang Kristen mencapai potensi rohani yang Allah berikan kepada mereka.
Pendeta bersama pertua dan diaken melalui peranannya masing-masing memperlengkapi, mendukung, memotivasi dan membimbing individu, memampukan mereka menjadi semua yang Allah kehendaki atas diri mereka. Pemimpin gereja yang menyadari pemberdayaan mereka sendiri dengan memberdayakan orang lain akan mengalami pertumbuhan dengan sendirinya. Tenaga yang mereka kerahkan dapat dilipatgandakan tanpa batas. Kualitas pelayanan yang berorientasi pada karunia menjadi hal yang penting. Mengembangkan karunia dan memanfaatkannya dalam gereja akan membuat gereja bertumbuh secara alamiah, karena semua jemaat akan mengambil pelayanan sesuai dengan karunianya.
Ketika orang Kristen melayani berdasarkan karunia rohaninya, umumnya mereka tidak melayani dengan kekuatan sendiri, tetapi dalam kuasa Roh Kudus. Akan ada suatu sukacita ketika jemaat melayani sesuai dengan kemampuannya.

Jemaat melakukan penjangkauan secara alami
Salah satu hambatan dalam hal pekabaran Injil kepada orang lain yang memeluk agama lain adalah menyampaikan pemahaman Kristen kepada orang-orang tersebut dinggap melanggar toleransi beragama dan menggangu kehidupan kerukunan bersama. Padahal amanat agung Tuhan Yesus menyuruh semua orang percaya memberitakan injil. Namun hambatan ini tidak boleh melemahkan gereja untuk melakukan panggilannya. Melakukan panggilan gereja dengan sungguh-sungguh dan melakukannya secara kontekstual, akan membuat saudara-saudara kita yang belum merasakan kasih Tuhan menjadi lebih terbuka dengan Injil.
Pendeta tidak akan mampu menjangkau semua jemaat yang tidak aktif atau yang hanya terdaftar sebagai anggota gereja namun tidak pernah hadir di gereja. Apalagi ditambah untuk melakukan penjangkauan kepada yang non-Kristen. Tentu pendeta tidak bisa menangani semua ini. Melihat keterbatasan pendeta, maka perlu jemaat yang melakukan penjangkauan. Jemaat yang menyatakan kasih Kristus melalui perbuatan nyata dan memanfaatkan hubungan-hubungan yang ada dimanapun dia berada. Pendeta akan sulit menjangkau pejabat-pejabat pemerintahan, maka tugas jemaat yang duduk di pemerintahanlah menjangkau mereka. Menghidupi rutinitas dengan menjadi pelaku firman Tuhan adalah penginjilan yang tidak akan mendapatkan penolakan yang frontal. Jemaatlah yang memiliki kesempatan paling besar memberitakan injil kepada dunia melalui hidupnya dibandingkan pendeta. Pendeta menguatan jemaat untuk terus berjuang untuk menjadi berita injil melalui hidupnya.
Gereja yang bertumbuh rata-rata memiliki ”nilai kasih” yang lebih tinggi daripada gereja yang mandek dan menurun. Kasih praktis memiliki kekuatan yang dihasilkan secara Ilahi jauh lebih efektif dibandingkan program penginjilan yang bergantung hampir seluruhnya kepada komunikasi verbal. Orang tidak ingin gereja berbicara kasih, mereka ingin mengalami bagaimana kasih Kristen benar-benar bekerja.
Memang merupakan tanggung jawab orang Kristen untuk menggunakan karunianya yang spesifik dalam memenuhi Amanat Agung. Tugas tiap orang Kristenlah untuk menggunakan karunianya guna melayani orang non-kristen yang memiliki hubungan pribadi dengannya, untuk memastikan bahwa mereka mendengar Injil, dan untuk membawa mereka ke gereja lokal. Kunci untuk pertumbuhan gereja adalah ketika gereja memfokuskan upaya penginjilannya pada kebutuhan jemaat dan orang non-Kristen. Sehingga jemaat akan haus menggunakan hubungan yang sudah ada dengan semua orang sebagai kontak untuk penginjilan.
Hal ini akan mendorong gereja semakin bertumbuh.

(Nomi BR Sinulingga, Sekretaris Umum PERMATA GBKP Pusat)

Tuesday, January 13, 2009

ANAK JALANAN MEMBUTUHKAN KEPEDULIAN KITA

Krisis ekonomi global akan terus meningkat tahun 2009 ini. Dampak krisis ini akan meningkatkan kemiskinan, jumlah pengangguran, anak putus sekolah, kejahatan, hancurnya kehidupan dan banyak lagi. Anak-anak sering sekali menjadi korban kemiskinan yang paling perlu diperhatikan. Secara usia anak masih membutuhkan ketergantungan terhadap orang dewasa atau orang tua. Dalam proses perkembangannya, kehidupan anak masih panjang dan sangat perlu diperhatikan sejak dini untuk masa depan yang lebih baik dan lebih cerah. Dalam pertumbuhannya secara phisik, anak memerlukan makanan bergizi yang baik. Anak memerlukan pendidikan yang baik, mulai dari pendidikan akademik sampai kepada pendidikan moral dan agama supaya anak akan tumbuh sebagai manusia yang baik. Anak perlu diperhatikan kesehatannya, karena anak yang rentan sakit akan terganggu pertumbuhan phisik dan emosinya. Namun kesulitan ekonomi membuat banyak anak-anak yang seharusnya diperhatikan menjadi terabaikan dan malah harus berjuang sendiri untuk kelangsungan kehidupannya.

Ketika anak-anak seusia mereka pulang sekolah, anak-anak lain memiliki kesempatan untuk kursus belajar atau bermain namun anak jalanan sudah berfikir untuk mencari uang. Kehidupan anak-anak sering tidak bisa dipisahkan dari bermain, hal ini tentunya juga terjadi pada anak-anak yang di jalan itu. Sekalipun tujuan turun ke jalan adalah supaya kehidupan mereka terus berlangsung, namun bukannya tidak banyak hal negatif yang bisa menjadi pengalaman yang membentuk kehidupan anak-anak ini. Mereka bermain di jalanan dan sering menyebabkan gangguan bagi pengguna jalan raya. Keberadaan mereka sering tidak disukai, dan mereka dianggap sebagai ”sampah masyarakat”. Siapakah yang peduli dengan masa depan anak-anak ini ?


Tidak akan ada artinya kalau kita sebagai anggota tubuh Kristus hanya mengutuk semua proses pemiskinan yang terjadi. Bagaimanapun kenyataanya kemiskinan akan selalu ada disekitar kita. Bahkan dalam Alkitab ada tertulis, ”Sebab orang-orang miskin tidak hentinya akan ada di dalam negeri itu; itulah sebabnya aku memberi perintah kepadamu, demikian: Haruslah engkau membuka tangan lebar-lebar bagi saudaramu, yang tertindas dan yang miskin di negerimu (Ulangan 15 : 11)."

Kemiskinan yang paling berkontribusi besar mengirim anak-anak memperjuangkan hidup ke jalanan. Fenomena anak jalanan semakin meningkat dari segi kualitas maupun kuantitas. Saya yang tinggal di Medan juga mengamati pertambahan anak-anak yang berkeliaran di lampu merah Simpang Pos. Kota-kota besar di kota Jawa sudah jauh lebih dulu kehidupan di lampu-lampu merah diisi aktivitas anak jalanan. Mereka mulai mengamen, mengelap mobil, menjadi pedagang asongan sampai mengemis (meminta-minta). Namun demikian, hubungan kemiskinan dengan perginya anak ke jalan bukanlah hubungan yang sederhana. Namun ada faktor lain yang mempengaruhi seperti keharmonisan keluarga, kemampuan pengasuhan anak yang baik serta langkanya dukungan keluarga kepada anak pada saat terjadi krisis dalam keluarga (misal ayah ibu bercerai).

Bagaimana Gereja melihat kondisi kehidupan anak jalanan ini? Apa yang bisa dilakukan gereja GBKP yang memiliki misi ”menghargai kemanusiaan” dalam mencapai visinya ”Hidup Setia Kepada Tuhan”? Terkhusus tahun 2009 ini adalah tahun Diakonia GBKP. Apakah kita hanya akan melanjutkan apa yang sudah dilakukan dalam pelayanan Diakonia yang ada selama ini, keputusannya ada pada kita semua. Namun menghargai kemanusiaan seperti ini bukan tugas Gereja secara lembaga, namun ini tugas semua orang percaya sebagai anggota tubuh Kristus. Tugas kita semua warga gereja GBKP. Saya jadi teringat lagu Sekolah Minggu, ”Aku Gereja, Kau pun Gereja dan Gereja adalah orangnya”. Kita semua secara pribadi dipanggil untuk berbuat bagi kemanusiaan di bumi ini.

Orang yang melihat sesamanya manusia sebagai saudara akan lebih mengenal Tuhan dengan banar dan juga mengenal siapa dirinya dengan benar. Bukan hanya itu, bahkan dalam Amsal 22 : 9 mengatakan, ”Orang yang baik hati akan diberkati, karena ia membagi rezekinya dengan si miskin.” Amsal 28 : 27 mengatakan, ”Siapa memberi kepada orang miskin tak akan berkekurangan, tetapi orang yang menutup matanya akan sangat dikutuki.” Anak-anak Tuhan akan mengasihi si miskin dengan perbuatan yang nyata.

Diakonia harus dilakukan dengan nyata kepada sesama manusia. Diakonia belum selesai ketika jemaat sudah lunas membayar iuran diakonianya. Diakonia sebagai tugas gereja adalah satu tugas orang percaya dalam menjalani kehidupannya. Melakukan hal ini akan membuat semua yang terlibat dalam pelayanan diakonia ini semakin bertumbuh dalam hal rohani. Baik yang melayani maupun yang dilayani akan semakin bertumbuh dalam spiritualitas. Spiritualitas Kristen selalu mendorong orang Kristen untuk memandang keluar dari dirinya. Spiritualitas Kristen memandang dunia sebagai tempat di mana tindakan Allah nyata terjadi, dan dia mau menjadi alat untuk hal itu. Tindakan Allah ini mencapai puncaknya pada kedatangan Yesus Kristus yang mati di kayu salib untuk dosa-dosa kita. Dalam dunia aktivitas manusia, kita membutuhkan rasa sosial, yang lahir dari kasih yang agape, yang melibatkan jenis kesadaran rohani yang berbeda. Spiritualitas Kristen menghargai kemanusiaan.

Anak jalanan sangat memerlukan pertolongan, apakah kita mau mengulurkan tangan?

Monday, August 18, 2008

BERCAHAYALAH SEPERTI BINTANG-BINTANG

(Refleksi ulang tahun PERMATA GBKP ke-60)

Ketika semangat mulai pudar, daya juang semakin lemah, idealisme mulai menguap dan budaya instan menjadi gaya hidup...mau jadi apakah orang muda?

Setiap masa yang dilalui memiliki tantangan dan pergumulan sendiri. Saat ini, langkah kaki PERMATA sudah masuk usia ke-60 dan era yang dijalani adalah era informasi. Dunia semakin global dan teknologi informasi membuat jarak menjadi nol. Tuntutan kompetensi Sumber Daya Manusia semakin tinggi supaya layak bermain di era globalisasi ini. Bagaimanakah dengan SDM PERMATA ketika usia semakin senja?

Rangkaian kegiatan untuk mempersiapkan hari jadi PERMATA ke-60 ini sudah dilakukan jauh-jauh sebelumnya. Panitia ingin mempersembahkan yang terbaik dan meninggalkan yang terindah dalam sejarah PERMATA. Pariwisata menjadi isu yang diangkat untuk mengambil bagian dalam Visit Indonesia Year 2008. Kerja Tahun PERMATA akan menjadi puncak kegiatan perayaan HUT ini, yang dilaksanakan di Retreat Center Suka Makmur pada tanggal 19-21 September 2008. Selain itu bakti sosial, pengobatan massal, lomba seni dan olah raga menjadi kegiatan yang dilakukan jelang puncak acara.

Melakukan kegiatan yang berdampak positif selalu ada dalam benak Panitia. Tapi tidak mudah dalam pelaksanaannya. Kesibukan dan tuntutan pekerjaan PERMATA sering sekali membuat prioritas ambil bagian dalam kegiatan PERMATA menjadi terbelakang. Mengangkat budaya sungguh sangat baik dilakukan oleh orang muda. Namun menjadi pribadi yang unggul, baik dalam hal soft skill dan juga hard skill menjadi penting dan utama. Thema HUT PERMATA ke-60 ini adalah,”bercahayalah seperti bintang-bintang.”

Bercahaya bukan karena ada cahaya yang dipantulkan. Namun seperti bintang yang menjadi sumber cahaya itu sendiri, kita perlu merenungkan lebih dalam kehidupan masa muda ini. Masa muda, masa indah, jiwa penuh dengan cita-cita, sedikit syair lagu yang tidak asing bagi kita. Cita-cita PERMATA saat ini adalah menjadi bintang. Ini bukan suatu yang mudah dan bisa dicapai hanya dengan menantikan datangnya masa depan. Untuk mencapainya harus ada perjuangan dan disiplin diri yang tinggi untuk tujuan yang jelas di depan. Mengikuti arus kemajuan serta kemudahan yang ditawarkannya hanya menjadikan manusia semakin instan, hedonis, praktis dan ikut kemana arah angin zaman.

Banyak aspek hidup yang diisi oleh peran pemuda. Mampukah PERMATA bercahaya di setiap peran yang dilakonkan? Ini menjadi pertanyaan dan renungan bagi kita semua PERMATA. Sudah tidak saatnya kita menyalahkan pihak luar, kenapa kita PERMATA begitu melempem. Sudah saatnya kita bangkit dengan semangat muda yang baru dan militansi yang kokoh untuk suatu kerinduan menjadi bintang. Sudah saatnya orang muda sadar bahwa kekayaannya adalah semangat dan kerja keras. Tidak malas, tidak cepat menyerah dan tidak apatis.

Sambil berjalan memasuki usia ke-60 ini kita mulai membangun jalan. Jembatan yang akan menghubungkan saat ini ke masa depan yang akan menjadikan kita bintang yang bercahaya di tengah-tengah dunia yang sudah tersesat ini. Dunia ini sedang menuju ke kebinasaan, kita harus mulai berbalik dan melawan arus dunia ini. Memang tidak mudah kawan, tapi percayalah...ada ALLAH yang hidup yang akan menopang kita untuk melalui setiap kesulitan hidup. Kesulitan yang Tuhan akan ijinkan kita lalui untuk mengasah PERMATA lebih bercahaya dan indah.

Allah memanggil kita untuk menjadi terang. Menjadi terang melalui perkataan, pikiran, tingkah laku dan juga seluruh kehidupan kita. Takut TUHAN akan membuat kita tidak memiliki ketakutan apapun dalam hidup ini. Namun ketika orang muda sudah jauh dari takut TUHAN, maka dunia ini akan menjadi sangat menakutkan dan kita tidak akan bisa bercahaya dan mengalahkan dunia ini. Orang muda yang takut Tuhan akan selalu melihat dirinya bagian dari dunia besar milik Tuhan. PERMATA bukan hanya bagian dari orang Karo dengan daya saing kecil. PERMATA yang sering di bilyar-bilyar sudah saatnya sadar kalau dirinya bukan hanya bagian dari meja bilyar. PERMATA yang suka belanja bukan hanya bagian dari mall, plaza, atau kafe. PERMATA dengan globalisasi adalah bagian dari dunia yang luas. Sudah saatnya PERMATA semakin meningkatkan diri dan siap memasuki bentuk dunia apapun dalam hidup ini dan menjadi bintang.

SELAMAT ULANG TAHUN KE-60.

PANJANG UMUR DAN MENJADI AGEN PERUBAHAN DIMANAPUN.

TUHAN MEMBERKATI KITA SEMUA.

Nomi Sinulingga (Sekretaris Umum PERMATA Pusat)

Monday, May 05, 2008

Perkebunan sawit bukan juru selamat tetapi sumber bencana
(Sebuah refleksi keberadaan Juma Sada Nioga di tengah-tengah GBKP)

Usaha untuk mewujudkan kemandirian dana GBKP yang menjadi target tahun 2010 mungkin menjadi titik tolak pembentukan dan pelaksanaan Juma Sada Nioga. Kemajuan teknologi yang menjadikan bio diesel menjadi usaha dalam menggantikan minyak bumi yang akan semakin langka, membuat kelapa sawit berharga dolar. Dua tahun belakangan ini, kelapa sawit menjadi hasil perkebunan paforit yang bernilai eksport. Hanya memandang dalam hal penjualan hasil bumi eksport ini sering membuat gereja juga lupa menimbang banyak hal lainnya ketika memutuskan ikut ambil bagian dalam hal berkebun sawit.
Semua jemaat GBKP tidak akan memungkiri, kalau keuangan gereja kita memang sering sekali mengkhawatirkan. Hal ini jelas dari gaji yang diterima pendeta yang mungkin dibawah UMR. Banyak jemaat yang menyadari bahwa dirinya memberikan persembahan yang cukup kecil, namun tetap saja dalam kesadaran itu tidak ada perubahan. Gereja seharusnya hidup dari jemaatnya (Orang lewi hidup dari suku lain, karena suku ini tidak punya tanah).
Mengapa mesti Sawit ?
Gereja perlu membuka usaha untuk meningkatkan keuangannya. Namun yang menjadi pertanyaan adalah kenapa mesti membuka perkebunan kelapa sawit? Satu alasan mungkin yang jelas bisa langsung diprediksi karena saat ini perkebunan sawit sangat menjanjikan memberikan uang yang banyak dalam waktu tidak lama. Yang menjadi pertanyaan, Apakah Gereja juga harus ikut dalam hal ini untuk memenuhi kebutuhan keuangannya? Toh dari satu kebaikan yang diberikan sawit, ada jauh lebih banyak dampak negatif yang akan ditimbulkannya. Dan apakah kita GBKP akan ikut berkontribusi dalam pengrusakan alam ciptaan TUHAN ini ?
Coba pandang sekeliling ke kuta-kuta yang ada di sekitar kantor Moderamen itu, bukankah begitu banyaknya petani yang mengeluh karena harga hasil panennya yang murah. Mengapa GBKP tidak pernah terpikir membuka pabrik yang bisa mengolah hasil pertanian? Harga hasil pertanian akan meningkat dan tidak fluktuatif juga akan memberikan lapangan pekerjaan bagi kami PERMATA yang banyak pengangguran ini. Sedangkan perkebunan sawit, yang memberikan keuntungan besar itu banyak sekali mengeksploitasi manusia. Orang-orang pekerja dikebun sawit banyak diperlakukan seperti budak. Dan berfikir ekspor minyak sawit, hanya mencekik rakyat Indonesia saja. Minyak goreng semakin mahal, dan ini berdampak ke mana-mana. Karena semua minyak sawitnya di kirim keluar toh...
Selain keuntungan ekonomi yang terlihat sesaat, bencana ekologis juga mengancam
Perkebunan sawit lebih banyak dampak negatif daripada dampak positifnya, terutama terhadap penyumbangan penghancuran hutan. GBKP berencana akan menyumbang kehancuran hutan seluas 1600 Ha di wilayah Riau. Bencana ekologis seperti banjir, tanah longsor, kebakaran hutan, kerugian sosial karena tidak adanya kepastian hukum dan kebijakan yang tidak berpihak kepada rakyat. Luas tanah perkebunan 1600 Ha yang akan menjadi kebun GBKP, dibersihkan hutannya dengan cara apa ya ?
Minggu lalu, jalan ke lau baleng ada 16 titik mengalami longsor (mulai dari Kinangkong, Kuta Buluh, dll). Hal ini terjadi karena sudah jelas kita lihat sebagai dampak hutan yang semakin gundul. Pohon kemiri sudah banyak ditebangi dan berlomba-lomba menanam jagung. Jagung juga harganya sedang tinggi karena juga merupakan bahan untuk bio diesel. Kalau semua uang sudah kita kumpulkan, sedangkan bencana alam terjadi. Maka kesulitan pangan juga akan mengikuti, apakah kita bisa kenyang dengan memegang uang hasil penjualan sawit dan jagung itu ?
Kita sangat sedih dengan kesulitan yang dialami oleh teman-teman kita di daerah bencana, bukan? Tidak adakah yang dilakukan oleh tanggul bencana GBKP dalam hal ini? Ketika kita mencoba menolong saudara kita korban bencana di tanah Karo, kenapa kita memikirkan untuk merusak hutan di daerah Riau. Sebuah sikap yang tidak konsisten sekali. Huuuhhh...GEREJA yang aneh.
Dampak negatif yang terungkap dari aktivitas perkebunan kelapa sawit diantaranya :
1. Persoalan tata ruang, dimana monokultur, homogenitas dan overloads konversi. Hilangnya keaneka ragaman hayati ini akan memicu kerentanan kondisi alam berupa menurunnya kualitas lahan disertai erosi, hama dan penyakit.
2. Pembukaan lahan sering kali dilakukan dengan cara tebang habis dan land clearing dengan cara pembakaran demi efesiensi biaya dan waktu. Pencemaran yang diakibatkan oleh asap hasil dari pembukaan lahan dengan cara pembakaran dan pembuangan limbah, merupakan cara-cara perkebunan yang meracuni makhluk hidup dalam jangka waktu yang lama.
3. Kelapa sawit sangat rakus akan unsur hara dan air. Tanaman monokultur seperti sawit dalam satu hari satu batang pohon sawit bisa menyerap 12 liter (hasil peneliti lingkungan dari Universitas Riau) T. Ariful Amri MSc Pekanbaru/ Riau Online). Di samping itu pertumbuhan kelapa sawit mesti dirangsang oleh berbagai macam zat fertilizer sejenis pestisida dan bahan kimia lainnya. Hal ini akan menyebabkan tanah akan menjadi tandus, dan mungkin tiga puluh tahun mendatang akan mengalami kegersangan dan apapun tidak bisa tumbuh lagi di lahan bekas perkebunan sawit tersebut.
4. Munculnya hama migran baru yang sangat ganas karena jenis hama baru ini akan mencari habitat baru akibat kompetisi yang keras dengan fauna lainnya. Ini disebabkan karena keterbatasan lahan dan jenis tanaman akibat monokulturasi.
5. Terjadinya konflik horiziontal dan vertikal akibat masuknya perkebunan kelapa sawit. sebut saja konflik antar warga yang menolak dan menerima masuknya perkebunan sawit dan bentrokan yang terjadi antara masyarakat dengan aparat pemerintah akibat sistem perijinan perkebunan sawit.
6. Selanjutnya, praktek konversi hutan alam untuk pembangunan perkebunan kelapa sawit seringkali menjadi penyebab utama bencana alam seperti banjir dan tanah longsor
Bagaimanapun kelapa sawit ini bukan juruselamat bagi keuangan dan kemandirian dana yang ingin dicapai GBKP. Renungkanlah kembali, dan dengarkan nurani. Pertimbangkan dari sisi etika Kristen dan juga sisi nurani Injil dalam hal menjaga keutuhan ciptaan TUHAN. Gereja GBKP perlu menimbang banyak hal berhubungan dengan perkebunan sawit ini, dan semua hasil pertimbangan itu endapkan dalam hati supaya bisa melihat lebih terang apa yang Tuhan inginkan dalam hal dana untuk gereja GBKP.
Kesimpulan
Perintah Tuhan untuk menguasai bumi dengan bertanggung jawab adalah untuk kebaikan kita sendiri. Ketika terjadi penyelewengan dari perintah Tuhan, maka kita sebagai anak Tuhan harus menyuarakan suara kebenaran. Gereja harus menyuarakan suara kenabiannya, karena saat ini gereja adalah satu-satunya harapan bagi dunia ini. Betapa sedihnya kalau Gereja ikut di dalam pengrusakan itu sendiri. Siapa lagikah yang bisa diharapkan untuk menunjukkan kebenaran? Memiliki pandangan yang semakin tinggi dan mampu memandang dari perspektif Allah akan membuat kita semakin memahami tanggung jawab kita dalam menguasai dunia ini.
Gereja GBKP perlu merefleksikan keberadaannya di tengah-tengah dunia ciptaan Tuhan ini. Yang pasti, apapun yang terjadi dengan dunia ini, Pencipta bumi ini tidak pernah meninggalkan perbuatan tangan-Nya. Sekalipun datang tsunami, atau longsor atau bencana alam lainnya baik karena ulah manusia atau bukan, semua itu ada dalam kontrol Tuhan. Namun alangkah sedihnya, ketika TUHAN mendapati kita pun ikut dalam hal perusakan itu ? (Nomi Sinulingga)
Referensi :
John Stott, “Isu-isu Global, Menantang Kepemimpinan Kristiani” Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF, 2000
Berbagai sumber di internet

Tuesday, February 26, 2008

Mau Kemanakah Generasi Karo Masa Depan ?

Beberapa kali aku bertanya kepada anak TK dan SD di Kabanjahe, mau jadi apakah mereka kalau sudah besar nanti. Banyak jawaban mereka ’TIDAK TAHU’. Ketika aku sedang bertamu ke rumah seorang saudara, anaknya laki-laki yang sedang duduk di kelas I SD sangat serius menonton TV. Aku usik dia dengan pertanyaan, ”Mau jadi apakah kalau sudah besar nanti?” ”Aku tidak tahu. Kan aku belum besar. Kita lihat nanti kalau sudah besar!” ”Apakah kamu tidak mau menjadi dokter atau pilot?” ”Apa enaknya menjadi dokter atau pilot?” responnya sambil terus tidak mengalihkan matanya dari layar kaca menonton sinetron.

Ketika bekerja di Banda Aceh sebagai trainer untuk memotivasi pemuda dan anak-anak korban tsunami, pertanyaan yang sama sering aku tanyakan. Hampir di semua barak-barak penampungan yang kami ajar, jawaban dari pertanyaan ”mau jadi apa kalau sudah besar” akan terdengar sama. Sudah ada semacam kosa kata yang sama yang akan digunakan oleh anak-anak untuk menjawab cita-cita mereka. Cita-cita mereka tidak akan jauh-jauh dari menjadi tentara atau polisi, dan hanya sedikit yang akan menjadi dokter atau perawat, dan yang lain-lain. Hal itu sangat aku maklumi karena mereka sejak kecil sudah hidup dalam ketakutan karena konflik yang berkepanjangan. Mereka sering mendengar suara tembakan dan menyaksikan korban peluru nyasar. Sehingga menjadi tentara atau polisi yang bisa memiliki senjata akan memberikan rasa aman bagi mereka.

Fenomena apa yang sebenarnya sedang terjadi dengan orang Karo dalam hal pendidikan? Apakah orang tua muda saat ini yang punya anak Balita, TK atau SD sudah sangat jarang menanyakan cita-cita anaknya? Sehingga anak kecil itu tidak pernah terpikir untuk menjadi apa di masa yang akan datang? Mungkinkah ini yang membuat anak-anak semakin malas untuk belajar. Mereka tidak tahu apa gunanya belajar. Anak yang masuk TK hanya tahu supaya bisa masuk SD mereka harus sudah bisa membaca dan menulis. Banyak anak-anak tidak menemukan model yang bisa ditiru dalam hal membaca di rumah. Selain itu tujuan dan manfaat bisa membaca dan menulis itu tidak pernah meresap ke dalam diri anak. Malas membaca bukan hal yang asing lagi bukan? Bahkan itu sudah menjadi budaya masyarakat kita yang perlu didobrak. Tanpa punya tujuan dan harapan akan masa depan yang dia cita-citakan, siapakah yang mampu hidup disiplin dan berjuang dalam hidup ini.

Kalau kita mengamati, saat ini banyak sekali anak-anak dan pemuda Karo yang putus sekolah. Alasan tidak lanjut study kebanyakan bukan karena tidak ada uang sekolah. Kemalasan, tidak punya semangat dan juga tidak termotivasi sedikitpun untuk belajar adalah faktor yang paling utama. Mau kemanakah orang muda Karo di era informasi ini?

Sebagai pengajar, aku sering merenungkan tentang kondisi ini.

Dengan globalisasi, izajah SMU tidak akan berarti. Kita hanya akan tetap menjadi pekerja-pekerja yang mengandalkan tenaga fisik dan juga melakukan bisnis yang tradisional. Era informasi dan globalisasi pasti akan menciptakan peluang-peluang besar bagi mereka yang siap dan mampu untuk memanfaatkannya. Perdagangan juga semakin tanpa batas. Oleh karena itu, kemajuan dan keunggulan masa depan sangat ditentukan oleh kualitas sumber daya manusia yang mampu bersaing. Ketidakmampuan berarti kemunduran bahkan mungkin kehancuran.

Tapi kenyataannya, SDM kita sedikitpun tidak berbenah bahkan bisa dikatakan tidak peduli dengan kemajuan dan perubahan yang sedang terjadi. Anak-anak pulang sekolah lebih banyak bermain Play Station, pemuda bersarang di bilyard yang bertaburan di lingkungannya. Anak yang menghabiskan banyak waktunya bermain play station mungkin hanya tahu bahwa dunia ini adalah play station. Pemuda yang menghabiskan banyak waktu di bilyard tanpa pernah belajar pelajarannya dengan serius akan melihat bahwa dunia ini hanya sebatas meja bilyard. Dunia tidak hanya play station atau bilyard tetapi sudah waktunya orang muda dan anak-anak dibuka matanya bahwa dunia ini sangat luas dan banyak sekali pilihan di dalamnya. Orang tua sudah saatnya mulai lebih tanggap dengan masalah ini. Terutama yang di Tanah Karo dan juga di desa-desa karena ketinggalan itu semakin nyata. Bahkan semangat meninggalkan kampung untuk sekolah tinggi sepertinya sudah asing bagi sebagian pemuda desa.

Kita harus mengakui kalau pengangguran sangat tinggi di negara ini. Tetapi itu bukan berarti kita menjadi pesimis dan malas belajar. Mungkin sekali orang yang menganggur itu adalah yang memang waktu kuliah juga tidak serius menjalani prosesnya. Mahasiswa Indonesia dekat sekali dengan budaya nyontek, kebut semalam, bahkan membayar dosen biar lulus, bukan? Wajarkan kalau SDM kita kurang sekali kualitasnya. Budaya kerja keras hampir tidak nyata di kehidupan orang muda. Hidup instan membuat kita begitu malas dan juga tidak mampu sedikitpun berjuang untuk melakukan yang terbaik sekalipun itu untuk diri sendiri.

Sekolah itu perlu untuk membangun dasar jika punya cita-cita dan tujuan. Cita-cita dan tujuan ini harus sudah dimulai sejak kecil. Perhatian keluarga dengan sering bertanya mau menjadi apa kalau sudah besar akan menolong anak memiliki mimpi masa depan. Anak yang memiliki mimpi masa depan tidak akan berhenti sekolah ketika masih SD. Semakin banyak anak SD, SMP dan SMA yang putus sekolah karena malas, aku pikir ini seperti kutukan yang akan kita lihat dampaknya sepuluh atau dua puluh tahun mendatang.

Beberapa teman-teman PERMATA di Medan berkumpul membuat kelompok dengan nama “Kandu-Kandu” untuk menolong mencarikan beasiswa bagi anak-anak SD jemaat GBKP yang putus sekolah. Kelompok ini sudah dibentuk lebih setahun yang lalu. Ketika saya menanyakan apakah sudah ada anak yang mereka tolong, jawaban mereka sangat membuat hati miris. Karena mereka sulit menemukan anak yang sangat membutuhkan bantuan. Kenyataan lebih banyak anak putus sekolah bukan karena tidak ada biaya, tetapi karena sejak kecil si anak sudah tidak mau sekolah. Mengetahui kondisi ini yang terpikir olehku bukan kelompok PERMATA yang punya hati mencari bantuan beasiswa, tetapi yang mau memperhatikan dan memotivasi anak-anak supaya menjadi anak yang memiliki cita-cita dan berprestasi.

Penyiapan SDM menghadapi era informasi dan globalisasi sangat penting dan sangat menentukan. Kemajuan ini menuntut manusia-manusia dengan ketahanan iman, moral dan pribadi yang tangguh, keahlian dan kemampuan yang tinggi, daya kreasi dan daya cipta yang hebat, wawasan yang luas, produktivitas, efisiensi dan disiplin yang tinggi, agar mampu menjadi pengendali, pelaku yang kompetitif dalam era informasi dan globalisasi. Oleh karena itu, kita tidak ada pilihan lain daripada bekerja keras, berjuang dan berbuat yang terbaik untuk meningkatkan kualitas diri sejak kecil. Kalau tidak, kita akan ketinggalan.

Friday, February 15, 2008

, Anda akan memiliki kesanggupan untuk mengetahui bahwa substansi meja itu dari kayu.

Dunia disekitar kita terdiri dari miliaran objek dengan berbagai warna dan bentuk. Dunia yang diluar kita sering kontak dengan dunia yang ada di dalam kita. Alat yang menghubungkan dunia luar dan diri kita adalah panca indra. Kalau seseorang telah kehilangan fungsi panca indranya,ia akan sulit menyalurkan apa yang ada didunia luar masuk ke dalam dirinya. Dunia ini memiliki berbagai warna. Tetapi kalau seseorang tidak memiliki mata, maka berbagai macam warna itu tidak masuk ke dalam dirinya, dan ia tidak akan memahami keindahan semuanya itu, karena ia tidak memiliki kemampuan untuk mensubstansiasi warna-warna itu.

Setiap hari kita masing-masing mensubstansiasi sesuatu. Saya dapat melihat tuan A duduk disana, saya mendengar HP berdering, saya dapat menikmati enaknya makan siang pake BKP, dan banyak lagi.

Alkitab memberitahukan banyak hal kepada kita. Tadinya hal-hal tersebut tidak ada sangkut pautnya dengan kita, terpisah diluar kita. Kita sebut hal-hal itu sebagai hal-hal rohani. Sekarang, bagaimana kita dapat mensubstansiasi hal-hal rohani ke dalam kita? Dalam perkara inilah IMAN berperan.

Iman adalah satu organ yang sangat penting, seperti halnya mata untuk melihat, telinga untuk mendengar, hidung untuk mencium. Iman adalah organ untuk mensubstansiasi segala perkara rohani ke dalam kita. Tanpa Iman, segala perkara rohani akan seperti tidak ada bagi kita.

Apakah perkara-perkara rohani itu ada? Anda tidak dapat memastikannya dengan pancaindra Anda! Allah telah mencakupkan kita semua di dalam Kristus, kita mati bersama Kristus. Segala dosa kita telah ditanggung oleh Kristus. Kristus mati dan bangkit. Dapatkah Anda mensubstansiasikan hal-hal itu dengan pancaindra Anda? Dalam hal ini pancaindra kita sama sekali tidak berguna. Mata kita seperti buta, telinga kita seperti tuli, semua indra perasa kita tumpul. Kalau hanya mengandalkan panca indra, maka kesimpulannya adalah tidak ada ALLAH.
IMAN adalah satu indra yang diluar pancaindra kita. Persoalannya sekarang, apakah kita mempergunakannya atau tidak !

Sebenarnya, yang dilakukan pancaindra kita adalah menerima. Telinga menerima suara melalui pendengaran. Mata menerima warna melalui penglihatan. Pancaindra kita menerima segala perkara dunia luar ke dalam kita.

Iman adalah menerima. Allah berfirman, Kristus telah mati untuk dosa-dosa kita. Bila Anda percaya, Anda segera menerima ini ke dalam diri Anda. Dengan Iman, pemberesan manusia lama. Anda terima ke dalam diri Anda. Fakta-fakta lainnya seperti kebangkitan, mendapatkan hidup baru, dan sebagainya, semuanya diterima ke dalam diri Anda demi iman. Meskipun tidak tahu bagaimana hal itu masuk ke dalam diri Anda, kalau Anda pecaya kepada firman Allah, maka segala yang telah Allah lakukan akan masuk ke dalam diri Anda. Inilah daya fungsi iman.

Wednesday, January 16, 2008

KEHIDUPAN SPIRITUALITAS ORANG PERCAYA
Nomi Sinulingga

Spiritualitas adalah kehidupan kerohanian orang percaya. Orang yang sudah menerima Tuhan Yesus sebagai Tuhan dan juruselamatnya secara pribadi harus bertumbuh dalam iman dan berubah kehidupannya dari kehidupan yang lama menjadi kehidupan yang baru. Kehidupan yang baru ini tentunya mengalami proses dalam perubahannya. Untuk memiliki kehidupan spiritualitas yang sehat dan baik maka kehidupan orang-orang percaya tidak boleh lepas dari pembacaan Alkitab dan doa. Kita mengetahui kehendak Allah melalui pembacaan firman Tuhan untuk mengarahkan kehidupan kita. Melalui doa kita berkomunikasi dan mengucapkan syukur, dan segala sesuatu yang ada di dalam hati kita kepada Allah. Allah sangat merindukan orang-orang percaya memiliki kehidupan doa yang sungguh-sungguh.

Spiritualitas itu tidak hanya berhenti di hal-hal yang rohani seperti berdoa, membaca firman Tuhan dan beriman kepada Allah. Tetapi kehidupan orang-orang yang bertumbuh secara rohani akan menunjukkan buah-buahnya yang bias dilihat orang lain dalam hidupnya. Kehidupan yang berbuah dan menjadi berkat dimana saja adalah satu sisi yang menunjukkan kehidupan spiritual. Spiritualitas itu menyeluruh dan tidak terbatas dalam kehidupan, tetapi akan mewarnai seluruh hidup mulai dari pola pikir, bersikap dan berkata-kata.

Spiritualitas akan menuntut kehidupan yang berdisiplin dalam hal doa, pembacaan firman Tuhan dan menjadi pelaku firman Tuhan. Spiritual juga mengarahkan kehidupan yang memiliki sikap dan nilai-nilai moral yang baik. Orang percaya bisa bertumbuh dalam hal spiritualitas hanyalah karena pimpinan Roh Kudus dan mau memaksa diri dalam disiplin menjadi pelaku firman Tuhan. Menerima pimpinan Roh Kudus dan belajar bergantung sepenuhnya pada Tuhan dalam hidup ini akan membuat orang percaya bukan menjadi seperti orang-orang dunia tetapi berbeda dan mampu hidup kudus ditengah-tengah dunia yang menuju kebinasaan ini.

Saya menyadari spiritualitas itu bukan berarti hanya tahu firman Tuhan, dimana Firman Tuhan dan ajaran kebenaran itu berhenti menjadi pengetahuan belaka. Tetapi spiritualitas adalah memiliki pengetahuan mengenai Allah dan menghidupi ajaran kebenaranNya itu dalam kehidupan sehari-hari dengan pertolongan Roh Kudus.