NdCharo, Buku & Artikel

"Aku ingin menjadi seorang yang menulis karena berkembang, dan berkembang karena menulis" kutipan dari Santo Agustinus

Wednesday, August 02, 2006

Ulih ku juma ei pe labo gel-gel
(Nomi BR Sinulingga)


Wajah kusut dan pandangan redup, membuat ibu yang sudah setengah baya itu terlihat lebih tua dari umurnya. Saya sedang mengamati ibu itu bercerita kepada temannya, ketika Sinabung Jaya melaju meninggalkan kota Berastagi menuju Medan. Dari pembicaraan tersebut, saya tahu kalau mereka mau menuju Pancur Batu untuk menghadiri “simate-mate“. Pembicaraan ibu itu menjadi sesuatu yang menarik untuk didengar dan membuat perjalanan menuju Medan menjadi suatu perenungan yang dalam akan kehidupan.

Yah..memang banyak keluhan yang keluar dari pembicaraan ibu tersebut. Mereka sepanjang jalan berpindah dari keluhan yang satu ke keluahan yang lain. Panasnya udara di dalam Sinabung, membuat keluhan itu terdengar semakin meringis. “Seh sulitna sangana e, lalit kai pe hasilna juma ta ndai. Pinjamen untuk nuan cina sange pe lenga tergalari, latih si enggo i pekeri e pe, lalit ulihna,“ keluh ibu itu.

Saya hanya bisa mencoba memahami apa yang ada di dalam hati ibu itu. Temannya berbicara memberikan penghiburan untuk menguatkannya. ”Adi usur-usur, lit nge kari dungna ulihna nak, seh gundari banci denga nge kita nggeluh. Adi lanai kari tertukur beras, banci denga kita ndak-daki pe enggo merandal nge, ibas situasi si sulit enda.”
”Kam la kin tehndu,” kata ibu itu kepada temannya, ”ndahi si mate-mate enda pe ndai harus ka nge aku minjam, perban la banci lang kel maka aku reh enda. Sulit kel sangana kuakap e. Sinuan-sinuan murah kel ergana, janah kebutuhan seh kal mergana,” katanya dengan sorot mata tanpa pengharapan. Masih banyak lagi ungkapan-ungkapan kegagalan dan kesulitan yang keluar dalam pembicaraan tersebut sampai akhirnya mereka turun karena tempat yang mereka tuju sudah sampai.

Begitu sulitkah perekonomian tanah Karo saat ini? Petani mulai menyadari bahwa tidak ada yang pasti memberi jaminan dalam hidup mereka. Apapun yang akan di tanam lebih banyak kemungkinan akan mendapatkan kegagalan dan kerugian dibandingkan keuntungan. Harga hasil pertanian sangat murah, juga hasil panen yang semakin berkurang. Jeruk yang pernah menjadi tanaman paforit, yang dikenal di tempat lain dengan nama ”Jeruk Medan” juga tidak lagi memberikan harapan. Udara tanah Karo yang semakin panas dan kering, juga tanah yang semakin keras memberikan kesan betapa keras dan keringnya kehidupan ini. Itu nyata dari wajah-wajah kebanyakan orang yang akan kita temui kalau kita datang ke tempat orang-orang berkumpul (tiga, kerja-kerja tahpe si mate-mate).

Tanah Karo sudah pernah mengalami kesejahteraan hidup karena hasil pertanian khususnya jeruk. Sedangkan saat ini, tanaman jeruk ketika panen sangat murah harganya sedangkan biaya pemeliharaan sangat mahal. Haruskah rakyat mengeluh karena kejadian ini? Bukankah sudah berpuluh tahun mereka menikmati hasilnya dan baru belakangan ini mulai sulit. Mungkinkah sepuluh tahun kelimpahan yang lalu tidak meninggalkan jejak sama sekali dalam situasi ini? Dimana salahnya? Mungkinkah karena manusia sulit untuk merasa puas dan mengucap syukur dalam segala keadaan?

Yah...bagaimanapun kesulitan hidup tidak akan selesai apabila hanya dikeluhkan. Tapi kita semua harus bergandengan tangan menghadapi kesulitan yang sedang dihadapi petani tanah Karo. Sudah saatnya petani Karo pun tidak hanya melanjutkan bentuk pertanian yang sudah diwariskan selama ini. Para petani bersama dengan pemerintah daerah perlu bersama-sama menyatukan kekuatan untuk membuat perubahan dalam sektor pertanian. Tidak semua petani mesti menanam jerukkan? Kita tidak akan bisa menutup mata bahwa prinsip ekonomi yang mengatakan kalau barang di pasar lebih banyak dari pada permintaan maka harga akan turun. Ketika permintaan pasar lebih besar dari stok barang maka harga jual akan semakin tinggi. Jawa banjir jeruk Medan bukan hal yang tiba-tiba kita dengar ketika musim panen jeruk tiba. Itu sudah terjadi sejak lama.

Dalam kesempatan yang lain, saya pernah berbicara kepada beberapa ibu yang sedang mengeluh mengenai harga jeruk yang murah sedangkan pupuk dan obat-obatan yang sangat mahal. Saya bertanya, kenapa harus menanam jeruk lagi? Kenapa tidak mulai menanam tanaman buah-buahan yang lain? Saat itu saya mengusulkan untuk menanam pohon Alpukat saja, tentu pemeliharaannya akan lebih mudah dibanding memeliharan tanaman jeruk. Buahnya juga akan sangat berat untuk ditimbang dan walaupun harga jualnya lebih murah dibanding jeruk namun kalau yang ditimbang seperti ”batu” akan banyak juga hasilnya. Salah seorang ibu itu menjawab, ”payo kel katandu ena nakku, tapi lenga kap lit idah kami lit kalak ngasup nukur motor ara hasil nuan pokat”. Mendengar itu saya terdiam dan tertegun. Ndigan pe labo lit kalak Karo ngasup nukur motor dari hasil pokat adi isuan pe dua batang nge ngenca i tengah juma. Cuba min suan bagi nuan rimo mbelangna, maka pasti enterem si idah kalak ngasup nukur motor perban hasil pokat, janah pohon pokat yang ditanam luas itu akan sedikit mengembalikan tanah Karo menjadi taneh simalem.

Saya memang bukan ahli pertanian, tapi saya pikir sudah saatnya budaya petani Karo yang sangat memerlukan contoh nyata dari keberhasilan orang lain untuk ditiru perlu di dobrak. Karena tidak selalu mencontoh apa yang ditanam petani lain yang hasilnya kena erga akan tepat ditiru pada waktu yang berbeda. Karena waktu sudah berlalu dan akan datang waktu lain dimana harga sudah turun. Dinas Pertanian tanah Karo harus mulai memfokuskan kerjanya untuk bisa dapat dipercaya oleh para petani. Dan bisa memberikan contoh pertanian yang baik sehingga petani Karo menaruh kepercayaan dan mau belajar sehingga tidak akan selalu melanjutkan pola pertanian yang sudah ada namun mau mencoba pertanian pola yang baru. Tanah Karo yang subur sangat penting di lihat kekuatannya. Masing-masing kuta mungkin memiliki kekuatan tanah sendiri untuk jenis tanaman apa yang terbaik di tanam, dan tentu suatu daerah (kuta) tidak perlu meniru pertanian yang dilakukan di daerah (kuta) lain (termasuk pola dan jenis tanamannya). Belajar dengan cara meniru memang tidak salah, tapi tanpa dasar yang kuat untuk meniru pertanian yang dilakukan daerah lain mungkin akan merugikan petani sendiri.
Hidup ini berubah, janah ulih ku juma e pe la gel-gel. Para petani juga sangat perlu melakukan perubahan, mulai dari paradigma bertani dan juga pola-pola pertanian yang perlu dilakukan. Petani perlu merespon perubahan yang selalu terjadi sehingga labo hasil pertanian e enca la gel-gel, tapi petani pe lanai bagi si gel-gel.

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home