NdCharo, Buku & Artikel

"Aku ingin menjadi seorang yang menulis karena berkembang, dan berkembang karena menulis" kutipan dari Santo Agustinus

Tuesday, February 27, 2007

Kehidupan PERMATA menunjukkan nilai-nilai Kristen

Suara gendang dan riuh kegembiraan sayup-sayup terdengar dari balik jeruji besi. Di istananya, Firaun sedang mengadakan perjamuan untuk semua pegawainya. Yusuf orang Ibrani yang tanpa kesalahan berada di dalam penjara, berharap-harap cemas menunggu seseorang datang menjemputnya dan menceritakan perihalnya kepada Firaun. Dia sudah menceritakan arti mimpi juru minum dan juru roti Raja, dan hari ini tiga hari setelah Yusuf menceritakan arti mimpi itu, Firaun sedang melakukan apa yang sudah diartikan oleh Yusuf kepada kedua pegawai Firaun itu. Semakin larut malam dan suara pesta sudah hilang, sepi menyelimuti ruang penjara, belum juga ada tanda seseorang akan datang untuk mengeluarkannya. Tiga hari yang lalu, ia sangat berharap kepada juru minum, karena telah mengartikan mimpi yang dialami juru minum, supaya mengingat Yusuf di dalam penjara. Menunjukkan terima kasihnya kepada Yusuf dengan menceritakan hal ihwal Yusuf dan mengeluarkannya dari penjara (Kej 40:12-15).

Sampai datangnya pagi, Yusuf tidak kunjung tidur. Malam-malam yang panjang, dia habiskan mengenang masa-masa di rumah bapanya. Baju-baju indah yang selalu dia kenakan, kasih sayag bapanya yang memenuhi hidupnya. Mimpi-mimpi masa muda yang terdengar ganjil saat dia ceritakan kepada ayah, ibu dan saudara-saudaranya. Mimpi-mimpi yang menghidupkan jiwa masa mudanya, namun membuat kebencian saudara-saudaranya yang selalu nyata dari sorot mata ketika memandangnya. Mimpi-mimpi yang tidak sekedar menghiasi tidur indahnya, namun juga membakar seluruh jiwanya. Nyala mimpi-mimpi itu masih menghangatkan jiwanya sampai pada pagi hari saat dia tidak bisa terlelap dalam ruang penjara yang pengap dan jauh dari rumah bapanya.

Bukan salahnya bermimpi, di ladang Yusuf dan saudara-saudaranya juga ayah ibunya sedang mengikat berkas gandum dan kemudian berkas Yusuf berdiri tegak sedang berkas yang lain semua mengelilingi dan sujud menyembah berkas Yusuf. Kemudian Yusuf juga
bermimpi, tampak matahari, bulan dan sebelas bintang sujud menyembah kepadanya (Kejadian 37 : 5-11). Mimpi-mimpi itu membuat hati saudaranya panas namun semua mimpi yang diceritakan Yusuf itu disimpan Yakub, ayahnya, di dalam hatinya. Iri hati saudara-saudaranya itu berbuah ingin melenyapkan adiknya sendiri, yang pada akhirnya membuat Yusuf dijual ke tanah Mesir.

Seorang diri jauh dari keluarga dan menjadi budak di negeri orang asing bukan hal yang mudah. Mimpi-mimpi masa mudanya saat bersama keluarga tercinta sering sekali menjadi penghiburan baginya, bahwa kehidupan masih berlanjut dan semua belum berujung sekalipun saat itu dia menjadi seorang budak. Setiap mimpi itu bermain dalam jiwanya, harapan akan masa depan memberikan kekuatan baginya menjalani semua. Allah Abraham, Ishak dan Yakub yang selalu diceritakan baginya saat dia tinggal di rumah bapanya, tetap menjadi Allah baginya. Dalam kesulitan hidupnya, Yusuf semakin mengenal Allah nenek moyangnya. Dia juga meletakkan semua kehidupan, jiwanya, dan mimpi-mimpinya kepada Allah orang Ibrani itu. Tuhan menyertai kehidupan Yusuf, dan apa saja yang dilakukannya selalu berhasil. Yusuf sangat rajin, disiplin, bertanggung jawab, dapat dipercaya dan merupakan orang yang bisa diandalkan. Waktu mengantarnya menjadi budak yang dikasihi oleh tuannya dan membuat Potifar menyerahkan segala miliknya pada kekuasaan Yusuf (Keluaran 39:2-6).

Kehadiran Yusuf di rumah Potifar membawa suasana damai dan penuh berkat. Tetapi kedamaian itu tidak berlangsung lama, karena istri Potifar menggoda Yusuf berkali-kali dan karena tidak berhasil mendapatkan apa yang diinginkannya, kemudian memfitnahnya sehingga Yusuf dimasukan ke dalam penjara. Yusuf tidak tergoda oleh apapun, karena hubungannya yang dekat dengan Allahnya. Yusuf memilih masuk ke dalam penjara dari pada melukai hati Tuhan. Ketika dirayu oleh istri Potifar, Yusuf berkata,”Bagaimana mungkin aku melakukan kejahatan yang besar ini dan membuat dosa terhadap Allah?” (Kej 39:9).

Yusuf tidak memikirkan promosi diri dan kenyamanan pribadi yang sudah dicapai untuk dipertahankan. Dia tidak memperjuangkan keberhasilan menurut manusia kalau bayarannya jatuh dalam dosa. Yusuf hanya memikirkan apa yang Tuhan ingin dia lakukan. Yusuf melalui mimpi-mimpinya mengetahui kalau dia hidup dalam proses untuk sesuatu yang mulia dan agung. Yusuf semakin menyadari bahwa semua yang dia lalui, masa-masa indah di rumah Yakub, masa-masa sulit di dalam penjara, masa-masa latihan dan ujian di rumah Potifar, semua itu adalah untuk suatu pekerjaan yang besar yang sudah Tuhan siapkan. Sebagai seorang budak dan seorang tahanan di negeri asing, Yusuf bersahabat semakin dalam hanya dengan Tuhan. Ketika juru minum tidak mengingatnya, Yusuf awalnya pasti sedih sekali, namun itulah proses kehidupan yang harus dia jalani. Hari-hari pergumulan yang berat dalam penjara itu dilaluinya dua tahun lagi setelah mengartikan mimpi juru minum yang melupakannya. Sampai waktunya Tuhan sendiri bertindak dengan mengijinkan Firaun bermimpi dan hanya Yusuf yang mampu mengartikannya karena pertolongan Tuhan.

Semua perjalanan hidup yang begitu sulit yang Yusuf jalani tidak hanya mengantarnya menjadi orang berkuasa di Mesir, tetapi juga menjadikannya orang yang sangat rendah hati, mampu mengampuni dan melupakan kesalahan saudaranya, mengasihi dan menempatkan Tuhan sebagai pusat kehidupannya. Hal ini nyata ketika dia memperkenalkan dirinya kepada saudara-saudaranya, “maka Allah telah menyuruh aku mendahului kamu untuk menjamin kelanjutan keturunanmu di bumi ini dan untuk memelihara hidupmu…Jadi bukanlah kamu yang menyuruh aku ke sini, tetapi Allah… (Kej 45 : 5 – 8).

Kisah Yusuf sebagai pemuda yang jujur, bertanggung jawab serta berintegritas bukan melalui suatu proses yang mudah. Kehidupan Yusuf selalu menginspirasi orang-orang muda untuk melihat kehidupan ini adalah suatu proses. Proses yang sedang kita jalani untuk suatu yang lebih agung dan mulia di depan, sesuai dengan rencana Tuhan dalam hidup kita. Proses itu masih berlangsung bagi kita semua PERMATA saat ini, karena kita masih muda dan usia belum usai. Setiap kita memiliki mimpi, tujuan, visi dalam hidup bersama Allah. Kadang mimpi itu seperti keinginan-keinginan hati untuk melakukan sesuatu yang baik dan mulia yang akan membuat kehidupan ini semakin berarti. Namun sering sekali dunia ini menghimpit kita sehingga mimpi-mimpi itu tinggal mimpi. Dan kita hanya menjalani kehidupan ini seperti kebanyakan orang dan terjebak dalam rutinitas hidup tanpa tahu ke depan mau kemana. Mungkin saat ini mimpi-mimpi itu belum terwujud, tetapi biarlah nyala mimpi-mimpi itu tetap tinggal dalam hati kita dan menunggu waktunya untuk diwujudkan bersama-sama dengan Tuhan.

Seperti Yusuf tampil berbeda dalam segala hal. Tinggal di tanah Mesir, berbahasa Mesir, berpakaian seperti orang Mesir dan hidup ditengah-tengah budaya Mesir. Namun iman Ibraninya dan mimpi yang dia dapat di rumah Yakub tetap mendiami hatinya. Imannya kepada Tuhan menjadi inti yang membedakannya dengan semua orang. Iman itu nyata dalam semua kehidupan Yusuf dalam kesulitan dan kejayaannya di tanah Mesir.

Memiliki kehidupan yang berbeda sesuai dengan iman kita kadang terdengar menakutkan. Tetapi itu dituntut dari orang-orang yang takut akan Tuhan, karena kita memang berbeda dengan dunia ini. Kristus Yesus yang menjadi pusat keselamatan kita telah membuat kita menjadi warga kerajaan Surga namun saat ini masih mendiami dunia. Hakikat kita di dalam Kristus telah membuat kita menjadi ciptaan baru dan dimampukanNya untuk melakukan perbuatan yang baik. Berdiri teguh dalam Kristus akan membuat kita bisa bertahan menjadi pribadi yang berbeda di dalam Tuhan, dan tidak ikut dengan keinginan dunia ini. Visi atau mimpi yang Tuhan taruh dalam hati semua anakNya menjadi tujuan dalam hidup. Sehingga kehadiran anak-anak Tuhan yang masih muda bisa menjadi berkat dalam semua segi kehidupan.
Hidup dalam Tuhan akan membuat PERMATA menjalani proses kehidupan dengan memperlihatkan nilai-nilai Kristen, seperti sidik jari yang akan meninggalkan bekasnya pada segala hal yang kita lakukan.


(Nomi br Sinulingga, Ekklesia buletin PERMATA Bogor edisi Maret 2007)