NdCharo, Buku & Artikel

"Aku ingin menjadi seorang yang menulis karena berkembang, dan berkembang karena menulis" kutipan dari Santo Agustinus

Wednesday, November 22, 2006

Sekolah Lanai nge Jadi Pilihen?
Nomi Br Sinulingga

“Agindu sudah enggak mau sekolah lagi. Baru juga tiga bulan di SMA, dan dia sudah tidak mau lagi melanjutkan sekolahnya. Hal ini membuat aku dan bapandu seh sedihna. Bahkan seminggu pertama ketika dia bilang gak mau sekolah lagi, bapandu sangat stress bahkan sampai mencret-mencret.” Ibu itu dengan mata sayu mencurhatkan keadaan anaknya yang sudah tidak mau melanjutkan sekolah lagi sambil menyenderkan punggungnya ke kursi.

“Kai akapndu banci ban kami ras bapandu gelah agindu nggit ulihi sekolah me?” Dengan sedikit senyum aku hanya memandang ibu itu dalam diam sambil berpikir, apa yang bisa aku katakan untuk mengurangi sedikit beban di hatinya.

“Cuba min sungkuni sura-surana Bi?”

“Enggo nge sungkuni kami manjar-manjar kai sura-surana. Tapi sinik saja ia, emaka gedang-gedang wari labo jelas kal kai dahinna i kuta. Lang sekolah montir ningkami, epe labo ia ersura kal. Adi ku juma isuruh pe labo ia nggit. Uga nari nge pagi masa depanna, tah jadi kai nge atena pagin?”

“Uga kin lingkungenna bergaul i kuta Bi? Adi la ia sekolah, lit kin temanna adi kerina kari kalak seusia ia ku sekolah sanga jam sekolah?”

“Kuakap pe lingkungen seh kel nge mempengaruhi ia, sebab i kuta enterem seumur agindu si harusna sekolah tapi lanai sekolah. Si lanai sekolah nari em, je temanna. Kadang mela akap Bapandu ah adi jumpa ras guru sekolahna, sebab rusur i sungkunna engkai maka agindu lanai sekolah. Janah kai nari akapndu ban jabab pe, bapandu Pertua ka.” Ibu itu semakin pelan bercerita sambil menahan supaya mampu membendung kesedihan hatinya.
Curhatan ibu ini membuat saya banyak merenung tentang pendidikan dan semangat belajar yang ada di anak muda Karo saat ini. Kemungkinan besar ibu ini bukan hanya seorang diri mengalami kesulitan menyuruh anaknya untuk tutus sekolah. Banyak pernanden bersusah hati karena anaknya tidak mau melanjutkan sekolah. Masih banyak ibu yang akan menceritakan pergumulan yang sama apabila kita mau berbicara dari hati ke hati dengan mereka. Semangat supaya sekolah tinggi mungkin lebih banyak yang tersisa hanya pada orang tua. Namun pada generasi yang seharusnya sekolah, sering sekali motivasi untuk sekolah semakin menurun.

Siapa yang harus kita salahkan? Dari manakah persoalan ini harus mulai di selesaikan? Apakah sudah mulai redup obor semangat baik orang tua maupun anak-anak orang Karo untuk sekolah tinggi. Apakah masa-masa keinginan datang ke Jawa bersekolah atau setidak-tidaknya datang ke kota Medan untuk belajar sudah mulai berlalu ? Mungkinkah pendidikan juga saat ini bukan sesuatu yang bisa diharapkan lagi. Dan kenyataannya memang sangat berbeda era globalisasi ini dengan masa lalu dimana sekolah akan memberikan status sosial yang baik dan juga jaminan masa depan yang penuh harapan?

Banyaknya pengangguran setelah menyelesaikan pendidikan sarjana sering menjadi faktor yang mematikan semangat untuk lebih sungguh-sungguh dalam bersekolah. Bukan hanya masalah itu saja, tapi kita juga tidak akan menutup mata kalau sekolah juga sangat membosankan. Bagi kebanyakan anak sekolah juga kurang jelas kemana semua arahnya apa yang dipelajari. Tidak ada pilihan lain sehingga ketika tidak tertarik untuk sekolah maka menjadi pengangguranlah pilihan yang lebih umum. Sekolah alternatif lain yang memberikan ketrampilan yang bisa digunakan untuk modal mencari pekerjaan atau menciptakan pekerjaan juga tidak banyak tersedia.

Sering sekali karena sulitnya mencari pekerjaan, para sarjana juga banyak yang kembali menjadi petani. Tingginya harapan keluarga bagi anaknya yang sudah sarjana juga membuat beban menjadi seorang yang berpendidikan tinggi menjadi lebih berat. Tekanan yang diperoleh sering bisa melahirkan kreatifitas, namun tidak jarang juga banyak yang patah arang dan semakin tidak mampu melakukan apa-apa bahkan menjadi orang yang pesimis memandang masa depan.
Masalah pendidikan ini, bukan hanya terjadi pada masyarakat Karo. Tetapi di Indonesia secara umum. Sarjana yang dihasilkan universitas memang sering sekali tidak siap pakai. Mereka masih harus menambahkan kompetensinya lagi melalui kursus-kursus. Tetapi kalau memahami lebih jauh dari manfaat belajar di sekolah untuk mengembangkan pola pikir, mungkin akan memberikan warna yang berbeda bagi orang-orang terdidik. Namun pada kenyataannya pola pikir orang yang berijazah juga tidak berbeda dengan yang putus sekolah. Dan saat ini motivasi untuk bersekolah ternyata semakin berkurang. Lit teman seri masih mempengaruhi keputusan banyak orang sehingga menjadi putus sekolah tidak masalah karena banyak teman juga menjalani hal yang sama.

Kalau saat ini sekolah bukan menjadi pilihan bagi orang muda. Maka yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana generasi yang akan datang menjalani kehidupan ini. Bukankah masa yang akan datang akan diisi dengan orang-orang yang tidak kompeten sedangkan persaingan hidup semakin ketat. Sangat disayangkan karena orang muda tidak mampu lagi memotivasi dirinya sendiri untuk sekolah walaupun manfaatnya untuk dirinya sendiri.

Sekolah-sekolah yang ada di Tanah Karo sebaiknya tidak hanya memandang anak-anak didik yang ada di dalam lingkungan sekolahnya. Tetapi bagaimana mereka bisa memandang keluar, melihat begitu banyak anak usia sekolah yang seharusnya berada di sekolah tapi memilih untuk keluyuran di jalanan. Di jalanan anak-anak akan begitu mudah terkena narkoba dan terlibat dengan kejahatan. Sekolah bekerja sama dengan orang tua murid dan Pemda sangat penting untuk menjangkau dan memotivasi anak-anak putus sekolah supaya mereka kembali ke sekolah. Memikirkan dan mengadakan sekolah-sekolah alternatif yang bisa memberikan ketrampilan yang baik untuk memperlengkapi orang-orang muda sebagai bekal hidupnya sudah sangat perlu saat ini. Sehingga masyarakat yang sudah terdidik tidak hanya memiliki mental pekerja tetapi mampu menciptakan lapangan kerja bagi diri sendiri dan bagi orang lain.


Banda Aceh, 22 November 2006

Sunday, November 05, 2006

Kepemimpinan Yang Melayani
Nomi BR Sinulingga

Kata pelayan dan pemimpin biasanya dianggap sebagai dua kata yang saling berlawanan, paradoks. Gagasan kepemimpinan pelayan (Servant Leadership) dimunculkan pertama pada tahun 1970 melalui sebuah essay oleh Robert Greenleaf (1904 - 1990) dengan judul “The Servant as Leader”. Ia selama 40 tahun berkarir di AT&T dalam bidang riset managemen, pengembangan dan pendidikan. Ide kepemimpinan pelayan merupakan hasil dari pengalamannya bekerja di dalam suatu organisasi yang sangat besar.
Kita telah kehilangan makna kata menjadi besar. Kebesaran tampaknya dikaitkan dengan pengakuan nama dan status sosial. Gereja dan organisasi kristen telah menjadi terlalu mirip dengan dunia. Kita memberi label besar/agung kepada mereka yang menumbuhkan organisasi yang terbesar atau yang mengumpulkan orang yang terbanyak. Kita menghormati mereka yang menduduki tempat yang penuh kuasa.
Pada masa Tuhan Yesus, satu-satunya lembaga yang ditentang-Nya adalah lembaga agama. Dia mengabaikan pemerintah Romawi dan tidak memperhatikan pejabat lokal. Dia secara langsung menentang ahli-ahli Taurat dan Farisi. Gereja harus lebih berhati-hati dibandingkan dengan organisasi lain. John Stott menyatakan bahwa model kepemimpinan dalam masyarakat Kristen lebih banyak ditentukan oleh budaya dari pada oleh Kristus. Budaya diterapkan secara tidak kritis di gereja dan hirarkinya, walaupun sesungguhnya tidak sejalan dengan gagasan hamba yang dikemukakan oleh Yesus Kristus.

Kepemimpinan Yesus
Yesus tidak menggunakan kuasa untuk kepentingan diriNya sendiri. Teladan yang paling besar dan paling jelas dari kepemimpinan adalah pribadi Yesus Kristus. Untuk lebih memahami kepemimpinan, kita perlu belajar dari kehidupan Yesus sendiri. Untuk ini perlu pembahasan yang luas sekali dan pembelajaran seumur hidup. Tetapi itu bukan membuat kita pesimis mempelajari kepemimpinan Yesus.
Injil Markus merupakan injil yang melihat Yesus sebagai pemimpin tertinggi yang melayani dan lebih menekankan Yesus sebagai model bagi orang banyak. Markus 9:35, … "Jika seseorang ingin menjadi yang terdahulu, hendaklah ia menjadi yang terakhir dari semuanya dan pelayan dari semuanya." Markus 9:37, "Barangsiapa menyambut seorang anak seperti ini dalam nama-Ku, ia menyambut Aku. Dan barangsiapa menyambut Aku, bukan Aku yang disambutnya, tetapi Dia yang mengutus Aku."
Biasanya orang mengukur kebesaran dengan kemampuan untuk mengontrol akses kepada sumber kuasa. Namun Yesus memberikan gambaran yang sama sekali berbeda. Karena ukuran menjadi besar adalah membangun orang lain. Yesus memerintahkan untuk menyambut anak kecil yang lemah dan tidak mempunyai pengaruh sama sekali, dan jangan menyesatkan anak kecil yang percaya (Mark 9 : 42).
Sikap terhadap orang yang dianggap tidak penting, sikap terhadap orang luar dan sikap terhadap pengikut memperlihatkan kepemimpinan seseorang. Yesus membalikkan gagasan tentang kuasa. Dalam teladan Yesus, kuasa diukur dengan mengambil tempat terakhir, total komitmen untuk menerima yang kecil, simpati dan keterbukaan kepada sesama. Pemimpin sejati memiliki kerinduan akan kemurnian pribadi, keras dengan diri sendiri tetapi lembut kepada orang lain.

Manusia bisa menjadi pemimpin yang sejati
Mengambil contoh kepemimpinan Yesus, sering mendapat respon ”Itukan Yesus, saya hanya manusia berdosa yang tidak mungkin seperti Yesus“. Kita dimampukan oleh Allah untuk mulai melihat keluar dari diri kita. Pemimpin yang sejati mengalami sukacita menyaksikan pengikutnya bertumbuh lebih besar dari dirinya sendiri. Pemimpin yang lebih muda tidak dianggap sebagai saingan tetapi justru sebagai buah dari pekerjaan baik mereka. Kepemimpinan sejati dimulai dari dalam dan kemudian bergerak ke luar untuk melayani mereka yang dipimpinnya. Disinilah pentingnya karakter dan integritas seorang pemimpin untuk menjadi pemimpin sejati dan diterima oleh orang yang dipimpinnya.
seorang pemimpin sejati memiliki kerinduan untuk membangun dan mengembangkan mereka yang dipimpinnya sehingga tumbuh banyak pemimpin dalam kelompoknya. Hal ini sejalan dengan buku yang ditulis oleh John Maxwell berjudul Mengembangkan Kepemimpinan Di Dalam Diri Anda (Jakarta: Binarupa Aksara).
Pemimpin yang melayani akan memimpin dari dalam dengan usaha mereka yang penuh dedikasi untuk membangun tubuh Kristus. Melalui pelayanan yang penuh kasih, pemimpin memberi contoh sehingga orang lain menerima dan mengikuti. Sebagai hasilnya, kepemimpinan yang melayani akan menular, mengalir dari satu orang kepada orang yang lain sampai hal itu merembes pada gereja keseluruhan.
Jika Tuhan melayani siapakah kita sehingga tidak melayani ?